"Penampakan-penampakan" Adolf Hitler di dunia modern
Gambar imajiner Adolf Hitler, masih tetap dengan seragam kebesarannya!
Wajah imajiner Hitler yang lain lagi...
Gambar imajiner Adolf Hitler, masih tetap dengan seragam kebesarannya!
Wajah imajiner Hitler yang lain lagi...
Oleh : Alif Rafik Khan
Jika
saja ada yang rajin menyimpan klipingan artikel harian “Pikiran Rakyat”
sekitar tahun 1983, tentu akan menemukan tulisan dokter Sosrohusodo
mengenai pengalamannya bertemu dengan seorang dokter tua asal Jerman
bernama Poch di pulau Sumbawa Besar pada tahun 1960. Dokter tua itu
kebetulan memimpin sebuah rumah sakit besar di pulau tersebut.
Tapi
bukan karena mengupas kerja dokter Poch, jika kemudian artikel itu
menarik perhatian banyak orang, bahkan komentar sinis dan cacian! Namun
kesimpulan akhir artikel itulah yang membuat banyak orang mengerutkan
kening. Sebab dengan beraninya Sosro mengatakan bahwa dokter tua asal
Jerman yang pernah berbincang-bincang dengannya, tidak lain adalah Adolf
Hitler, mantan diktator Jerman yang super terkenal karena telah membawa
dunia pada Perang Dunia II!
Beberapa
“bukti” diajukannya, antara lain dokter Jerman tersebut cara
berjalannya sudah tidak normal lagi, kaki kirinya diseret. Tangan
kirinya selalu gemetar. Kumisnya dipotong persis seperti gaya aktor
Charlie Chaplin, dengan kepala plontos. Kondisi itu memang menjadi ciri
khas Hitler pada masa tuanya, seperti dapat dilihat sendiri pada
buku-buku yang menceritakan tentang biografi Adolf Hitler (terutama
saat-saat terakhir kejayaannya), atau pengakuan Sturmbannführer Heinz
Linge, bekas salah seorang pembantu dekat sang Führer. Dan masih banyak
“bukti” lain yang dikemukakan oleh dokter Sosro untuk mendukung
dugaannya.
Keyakinan
Sosro yang dibangunnya dari sejak tahun 1990-an itu hingga kini tetap
tidak berubah. Bahkan ia merasa semakin kuat setelah mendapatkan bukti
lain yang mendukung ‘penemuannya’. “Semakin saya ditentang, akan semakin
keras saya bekerja untuk menemukan bukti-bukti lain,” kata lelaki yang
lahir pada tahun 1929 di Gundih, Jawa Tengah ini ketika ditemui di
kediamannya di Bandung.
Andai
saja benar dr. Poch dan istrinya adalah Hitler yang tengah melakukan
pelarian bersama Eva Braun, maka ketika Sosro berbincang dengannya,
pemimpin Nazi itu sudah berusia 71 tahun, sebab sejarah mencatat bahwa
Adolf Hitler dilahirkan tanggal 20 April 1889. “Dokter Poch itu amat
misterius. Ia tidak memiliki ijazah kedokteran secuilpun, dan sepertinya
tidak menguasai masalah medis,” kata Sosro, lulusan Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia yang sempat bertugas di pulau Sumbawa Besar
ketika masih menjadi petugas kapal rumah sakit Hope.
Sebenarnya,
tumbuhnya keyakinan pada diri Sosro mengenai Hitler di pulau Sumbawa
Besar bersama istrinya Eva Braun, tidaklah suatu kesengajaan. Ketika
bertugas di pulau tersebut dan bertemu dengan seorang dokter tua asal
Jerman, yang ada pada benak Sosro baru tahap kecurigaan saja.
Meskipun
begitu, ia menyimpan beberapa catatan mengenai sejumlah “kunci” yang
ternyata banyak membantu. Perhatiannya terhadap literatur tentang Hitler
pun menjadi kian besar, dan setiap melihat potret tokoh tersebut,
semakin yakin Sosro bahwa dialah orang tua itu, orang tua yang sama yang
bertemu dengannya di sebuah pulau kecil d Indonesia!
Ketidaksengajaan itu terjadi pada tahun 1960, berarti sudah dua puluh tahun lebih ia meninggalkan pulau Sumbawa Besar.
Suatu saat, seorang keponakannya membawa majalah Zaman
edisi no.15 tahun 1980. Di majalah itu terdapat artikel yang ditulis
oleh Heinz Linge, bekas pembantu dekat Hitler, yang berjudul “Kisah
Nyata Dari Hari-Hari Terakhir Seorang Diktator”, yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia oleh Try Budi Satria.
Pada
halaman 59, Linge mula-mula menceritakan mengenai bunuh diri Hitler dan
Eva Braun, serta cara-cara membakar diri yang kurang masuk di akal.
Kemudian Linge membeberkan keadaan Hitler pada waktu itu.
“Beberapa
alinea dalam tulisan itu membuat jantung saya berdetak keras, seperti
menyadarkan saya kembali. Sebab di situ ada ciri-ciri Hitler yang juga
saya temukan pada diri si dokter tua Jerman. Apalagi setelah saya
membaca buku biografi ‘Hitler’. Semuanya ada kesamaan,” ungkap ayah
empat anak ini.
Heinz
Linge menulis, “beberapa orang di Jerman mengetahui bahwa Führer sejak
saat itu kalau berjalan maka dia menyeret kakinya, yaitu kaki kiri.
Penglihatannya pun sudah mulai kurang terang serta rambutnya hampir sama
sekali tidak tumbuh... kemudian, ketika perang semakin menghebat dan
Jerman mulai terdesak, Hitler menderita kejang urat.”
Linge
melanjutkan, “di samping itu, tangan kirinya pun mulai gemetar pada
waktu kira-kira pertempuran di Stalingrad (1942-1943) yang tidak membawa
keberuntungan bagi bangsa Jerman, dan ia mendapat kesukaran untuk
mengatasi tangannya yang gemetar itu.” Pada akhir artikel, Linge
menulis, “tetapi aku bersyukur bahwa mayat dan kuburan Hitler tidak
pernah ditemukan.”
Lalu
Sosro mengenang kembali beberapa dialog dia dengan “Hitler”, saat Sosro
berkunjung ke rumah dr. Poch. Saat ditanya tentang pemerintahan Hitler,
kata Sosro, dokter tua itu memujinya. Demikian pula dia menganggap
bahwa tidak ada apa-apa di kamp Auschwitz, tempat ‘pembantaian’
orang-orang Yahudi yang terkenal karena banyak film propaganda Amerika
yang menyebutkannya.
“Ketika
saya tanya tentang kematian Hitler, dia menjawab bahwa dia tidak tahu
sebab pada waktu itu seluruh kota Berlin dalam keadaan kacau balau, dan
setiap orang berusaha untuk lari menyelamatkan diri masing-masing,”
tutur Sosrohusodo.
Di
sela-sela obrolan, dr. Poch mengeluh tentang tangannya yang gemetar.
Kemudian Sosro memeriksa saraf ulnarisnya. Ternyata tidak ada kelainan,
demikian pula tenggorokannya. Ketika itu, ia berkesimpulan bahwa
kemungkinan “Hitler” hanya menderita parkisonisme saja, melihat usianya yang sudah lanjut.
Yang
membuat Sosro terkejut, dugaannya bahwa sang dokter mungkin terkena
trauma psikis ternyata diiyakan oleh dr. Poch! Ketika disusul dengan
pertanyaan sejak kapan penyakit itu bersarang, Poch malah bertanya
kepada istrinya dalam bahasa Jerman.
“Itu
kan terjadi sewaktu tentara Jerman kalah perang di Moskow. Ketika itu
Goebbels memberi tahu kamu, dan kamu memukul-mukul meja,” ucap istrinya
seperti ditirukan oleh Sosro. Apakah yang dimaksud dengan Goebbels
adalah Joseph Goebbels, Menteri Propaganda Jerman yang terkenal setia
dan dekat dengan Hitler? Istrinya juga beberapa kali memanggil dr. Poch
dengan sebutan “Dolf”, yang mungkin merupakan kependekan dari Adolf!
Setelah
memperoleh cemoohan sana-sini sehubungan dengan artikelnya, tekad
Sosrohusodo untuk menuntaskan masalah ini semakin menggebu. Ia mengaku
bahwa kemudian memperoleh informasi dari pulau Sumbawa Besar bahwa Poch
sudah meninggal di Surabaya. Beberapa waktu sebelum meninggal, istrinya
pulang ke Jerman. Poch sendiri konon menikah lagi dengan nyonya S,
wanita Sunda asal Bandung, karyawan di kantor pemerintahan di pulau
Sumbawa Besar!
Untuk
menemukan alamat nyonya S yang sudah kembali lagi ke Bandung, Sosro
mengakui bukanlah hal yang mudah. Namun akhirnya ada juga orang yang
memberitahu. Ternyata, ia tinggal di kawasan Babakan Ciamis! Semula
nyonya S tidak begitu terbuka tentang persoalan ini. Namun karena terus
dibujuk, sedikit demi sedikit mau juga nyonya S berterus terang.
Begitu
juga dengan dokumen-dokumen tertulis peninggalan suaminya kemudian
diserahkan kepada Sosrohusodo, termasuk foto saat pernikahan mereka,
plus rebewes (SIM) milik dr. Poch yang ada cap jempolnya. Dari nyonya S
diketahui bahwa dr. Poch meninggal tanggal 15 Januari 1970 pukul 19.30
pada usia 81 tahun di Rumah Sakit Karang Menjangan Surabaya akibat
serangan jantung. Keesokan harinya dia dimakamkan di desa Ngagel.
Dalam
salah satu dokumen tertulis, diakuinya bahwa ada yang amat menarik dan
mendukung keyakinannya selama ini. Pada buku catatan ukuran saku yang
sudah lusuh itu, terdapat alamat ratusan orang-orang asing yang tinggal
di berbagai negara di dunia, juga coretan-coretan yang sulit dibaca. Di
bagian lainnya, terdapat tulisan steno. Semuanya berbahasa Jerman.
Meskipun tidak ada nama yang menunjukkan kepemilikan, tapi diyakini
kalau buku itu milik suami nyonya S.
Di sampul dalam terdapat kode J.R. KepaD
no.35637 dan 35638, dengan masing-masing nomor itu ditandai dengan
lambang biologis laki-laki dan wanita. “Jadi kemungkinan besar, buku itu
milik kedua orang tersebut, yang saya yakini sebagai Hitler dan Eva
Braun,” tegasnya dengan suara yang agak parau.
Negara
yang tertulis pada alamat ratusan orang itu antara lain Pakistan,
Tibet, Argentina, Afrika Selatan, dan Italia. Salah satu halamannya ada
tulisan yang kalau diterjemahkan berarti : Organisasi
Pelarian. Tuan Oppenheim pengganti nyonya Krüger. Roma, Jl. Sardegna
79a/1. Ongkos-ongkos untuk perjalanan ke Amerika Selatan (Argentina).
Lalu,
ada pula satu nama dalam buku saku tersebut yang sering disebut-sebut
dalam sejarah pelarian orang-orang Nazi, yaitu Prof. Dr. Draganowitch,
atau ditulis pula Draganovic. Di bawah nama Draganovic tertulis Delegation Argentina da imigration Europa – Genua val albaro 38.
secara terpisah di bawahnya lagi tertera tulisan Vatikan. Di halaman
lain disebutkan, Draganovic Kroasia, Roma via Tomacelli 132.
Majalah
Intisari terbitan bulan Oktober 1983, ketika membahas Klaus Barbie
alias Klaus Altmann bekas polisi rahasia Jerman zaman Nazi, menyebutkan
alamat tentang Val Albaro. Disebutkan pula bahwa Draganovic memang
memiliki hubungan dekat dengan Vatikan Roma. Profesor inilah yang
membantu pelarian Klaus Barbie dari Jerman ke Argentina. Pada tahun 1983
Klaus diekstradisi dari Bolivia ke Prancis, negara yang menjatuhkan
hukuman mati terhadapnya pada tahun 1947.
“Masih
banyak alamat dalam buku ini, yang belum seluruhnya saya ketahui
relevansinya dengan gerakan Nazi. Saya juga sangat berhati-hati tentang
hal ini, sebab menyangkut negara-negara lain. Saya masih harus bekerja
keras menemukan semuanya. Saya yakin kalau nama-nama yang tertera dalam
buku kecil ini adalah para pelarian Nazi!” tandasnya.
Mengenai
tulisan steno, diakuinya kalau ia menghadapi kesulitan dalam
menterjemahkannya ke dalam bahasa atau tulisan biasa. Ketika meminta
bantuan ke penerbit buku steno di Jerman, diperoleh jawaban bahwa steno
yang dilampirkan dalam surat itu adalah steno Jerman “kuno” sistem
Gabelsberger dan sudah lebih dari 60 tahun tidak digunakan lagi sehingga
sulit untuk diterjemahkan.
Tetapi
penerbit berjanji akan mencarikan orang yang ahli pada steno
Gabelsberger. Beberapa waktu lamanya, datang jawaban dari Jerman dengan
terjemahan steno ke dalam bahasa Jerman. Sosrohusodo menterjemahkannya
kembali ke dalam bahasa Indonesia. Judul catatan dalam bentuk steno itu,
kurang lebih berarti “keterangan singkat tentang pengejaran perorangan
oleh Sekutu dan penguasa setempat pada tahun 1946 di Salzburg”. Kota ini
terdapat di Austria.
Di
dalamnya berkisah tentang “kami berdua, istri saya dan saya pada tahun
1945 di Salzburg”. Tidak disebutkan siapakah ‘kami berdua’ di situ. Dua
insan tersebut, kata catatan itu, dikejar-kejar antara lain oleh CIC
(dinas rahasia Amerika Serikat). Pada pokoknya, menggambarkan
penderitaan sepasang manusia yang dikejar-kejar oleh pihak keamanan.
Di
dalamnya juga terdapat singkatan-singkatan yang ditulis oleh huruf
besar, yang kalau diurut akan menunjukkan rute pelarian keduanya, yaitu
B, S, G, J, B, S, R. “Cara menyingkat seperti ini merupakan kebiasaan
Hitler dalam membuat catatan, seperti yang pernah saya baca dalam
literatur yang lainnya,” Sosrohusodo memberikan alasan.
Dari
singkatan-singkatan itu, lalu Sosro mencoba untuk mengartikannya, yang
kemudian dikaitkan dengan rute pelarian. Pelarian dimulai dari B yang
berarti Berlin, lalu S (Salzburg), G (Graz), J (Jugoslavia), B
(Beograd), S (Sarajevo) dan R (Roma). Tentang Roma, Sosro menjelaskan
bahwa itu adalah kota terakhir di Eropa yang menjadi tempat pelariannya.
Setelah itu mereka keluar dari benua tersebut menuju ke suatu tempat,
yang tidak lain tidak bukan adalah pulau Sumbawa Besar di Nusantara
tercinta!
Ia
mengutip salah satu tulisan dalam steno tadi : “Pada hari pertama di
bulan Desember, kami harus pergi ke R untuk menerima suatu surat paspor,
dan kemudian kami berhasil meninggalkan Eropa”. Ini, kata Sosro, sesuai
dengan data pada paspor dr. Poch yang menyebutkan bahwa paspor bernomor
2624/51 diberikan di Rom (tanpa huruf akhir A)”. Di buku catatan berisi
ratusan alamat itu, nama Dragonic dikaitkan dengan Roma, begitulah
Sosro memberikan alasan lainnya.
Lalu mengenai Berlin dan Salzburg, diterangkannya dengan mengutip majalah Zaman
edisi 14 Mei 1984. Dikatakan bahwa sejarah telah mencatat peristiwa
jatuhnya pesawat yang membawa surat-surat rahasia Hitler yang jatuh di
sekitar Jerman Timur pada tahun 1945. “Ini juga menunjukkan rute
pelarian mereka,” katanya lagi.
Lalu
bagaimana komentar nyonya S yang disebut-sebut Sosro sebagai istri
kedua dr. Poch? Konon ia pernah berterus terang kepada Sosro. Suatu hari
suaminya mencukur kumis mirip kumis Hitler, kemudian nyonya S
mempertanyakannya, yang kemudian diiyakan bahwa dirinya adalah Hitler.
“Tapi jangan bilang sama siapa-siapa,” begitu Sosro mengutip ucapan
nyonya S.
Membaca
dan menyimak ulasan dr. Sosrohusodo, sekilas seperti ada saling kait
mengkait antara satu dengan yang lainnya. Namun masih banyak pertanyaan
yang harus diajukan kepada Sosro, dengan tidak bermaksud meremehkan
pendapat pribadinya berkaitan dengan Hitler, sebab mengemukakan pendapat
adalah hak setiap warga negara.
Bahkan
Sosrohusodo sudah membuat semacam diktat yang memaparkan pendapatnya
tentang Hitler, dilengkapi dengan sejumlah foto yang didapatnya dari
nyonya S. Selain itu, isinya juga mengisahkan tentang pengalaman sejak
dia lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia hingga bertugas
di Bima, Kupang, dan Sumbawa Besar. Ia juga telah mengajukan hasil
karyanya ke berbagai pihak, namun belum ada tanggapan. “Padahal tidak
ada maksud apa-apa di balik kerja saya ini, hanya ingin menunjukkan
bahwa Hitler mati di Indonesia,” katanya mantap.
Bukan
hanya Sosro yang mempunyai teori tentang pelarian Hitler dari Jerman ke
tempat lain, tapi beberapa orang di dunia ini pernah mengungkapkannya
dalam media massa. Peluang untuk berteori seperti itu memang ada, sebab
ketika pemimpin Nazi tersebut diduga mati bersama Eva Braun tahun 1945,
tidak ditemukan bukti utama berupa jenazah!
Adalah
tugas para pakar dalam bidang ini untuk mencoba mengungkap segala
sesuatunya, termasuk keabsahan dokumen yang dimiliki oleh Sosrohusodo,
nyonya S, atau makam di Ngagel yang disebut sebagai tempat bersemayamnya
dr. Poch.
Mungkin
para ahli forensik dapat menjelaskannya lewat penelitian terhadap
tulang-tulang jenazahnya. Semua itu tentu berpulang pada kemauan baik
semua pihak...
Sedikit tambahan yang saya kutip dari Vivanews:
Adolf
Hitler, diktator Jerman dan orang yang diyakini bertanggung jawab atas
pembantaian bangsa Yahudi, diduga menghabiskan akhir hayatnya di
Indonesia -- sebagai dr Poch, dokter tua asal Jerman.
Menurut mantan pasiennya, Ahmad Zuhri Muhtar (55), dr Poch tinggal di rumah dinas dokter di Kompleks Rumah Sakit Sumbawa bersama istrinya yang asal Jerman.
Ketika istrinya itu kembali ke negeri asalnya, Poch lalu kesepian. "Dia menyendiri lalu kawin lagi dengan istinya yang asal [Pulau] Jawa, saya tidak tahu persisnya, mungkin Garut," kata Ahmad kepada VIVAnews, Senin 22 Februari 2010.
Ada lagi fakta menarik soal dr Poch yang diungkap Ahmad. Kata dia, dr Poch bahkan masuk Islam karena menikah dengan perempuan muslim.
"Dinikahkan secara Islam, resepsinya di pendapa kabupaten. Ceritanya seperti itu," tambah Ahmad.
dr Poch lalu pindah ke Surabaya, ke tempat istri barunya.
Keterangan Ahmad bersesuaian dengan kisah yang diungkap dr Sosrohusodo -- dokter lulusan Universitas Indonesia yang pernah bertemu Poch di Sumbawa.
Kata Sosro, setelah istrinya yang asal Jerman, diduga Eva Braun, meninggalkannya, Poch yang diduga sebagai Hitler menikah lagi dengan wanita Sunda asal Bandung berinisial 'S'. Terakhir 'S' diketahui tinggal di Babakan Ciamis.
Awalnya 'S' menutup mulut, namun akhirnya kepada Sosro, dia menyerahkan sejumlah dokumen milik suaminya, termasuk foto perkawinan, surat izin mengemudi lengkap dengan sidik jari Poch.
Ada juga buku catatan berisi nama-nama orang Jerman yang tinggal di beberapa negara, seperti Argentina, Italia, Pakistan, Afrika Selatan, dan Tibet. Juga beberapa tulisan tangan steno dalan bahasa Jerman
Buku catatan Poch berisi dua kode, J.R. KepaD No.35637 dan 35638, kode simbol lelaki dan perempuan.
"Ada kemungkinan buku catatatan dimiliki dua orang, Hitler dan Eva Braun," kata Sosro.
Ada juga tulisan yang diduga rute pelarian Hitler -- yakni B (Berlin), S (Salzburg), G (Graz), J (Jugoslavia), B (Belgrade), S (Sarajevo), R (Rome), sebelum dia ke Sumbawa Besar.
Istri kedua Poch, 'S' juga menceritakan suatu hari dia melihat suaminya mencukur kumis dengan gaya mirip Hitler. Ketika dia bertanya, suaminya menjawab, "jangan bilang siapa-siapa."
Poch yang diduga adalah Hitler meninggal pada 15 Januari 1970 pukul 19.30 di Rumah Sakit Karang Menjangan Surabaya karena serangan jantung, dalam usia 81 tahun.
Sebuah makam di Ngagel jadi pintu masuk untuk menyelidiki kebenaran cerita akhir hayat 'sang Fuhrer'.
Apakah Hitler benar tewas bunuh diri di bunker di Berlin pada 30 April 1945, atau apakah mati dalam usia tua di Argentina, Brazil, Amerika Selatan, atau Indonesia -- masih harus dikaji kebenarannya.
Menurut mantan pasiennya, Ahmad Zuhri Muhtar (55), dr Poch tinggal di rumah dinas dokter di Kompleks Rumah Sakit Sumbawa bersama istrinya yang asal Jerman.
Ketika istrinya itu kembali ke negeri asalnya, Poch lalu kesepian. "Dia menyendiri lalu kawin lagi dengan istinya yang asal [Pulau] Jawa, saya tidak tahu persisnya, mungkin Garut," kata Ahmad kepada VIVAnews, Senin 22 Februari 2010.
Ada lagi fakta menarik soal dr Poch yang diungkap Ahmad. Kata dia, dr Poch bahkan masuk Islam karena menikah dengan perempuan muslim.
"Dinikahkan secara Islam, resepsinya di pendapa kabupaten. Ceritanya seperti itu," tambah Ahmad.
dr Poch lalu pindah ke Surabaya, ke tempat istri barunya.
Keterangan Ahmad bersesuaian dengan kisah yang diungkap dr Sosrohusodo -- dokter lulusan Universitas Indonesia yang pernah bertemu Poch di Sumbawa.
Kata Sosro, setelah istrinya yang asal Jerman, diduga Eva Braun, meninggalkannya, Poch yang diduga sebagai Hitler menikah lagi dengan wanita Sunda asal Bandung berinisial 'S'. Terakhir 'S' diketahui tinggal di Babakan Ciamis.
Awalnya 'S' menutup mulut, namun akhirnya kepada Sosro, dia menyerahkan sejumlah dokumen milik suaminya, termasuk foto perkawinan, surat izin mengemudi lengkap dengan sidik jari Poch.
Ada juga buku catatan berisi nama-nama orang Jerman yang tinggal di beberapa negara, seperti Argentina, Italia, Pakistan, Afrika Selatan, dan Tibet. Juga beberapa tulisan tangan steno dalan bahasa Jerman
Buku catatan Poch berisi dua kode, J.R. KepaD No.35637 dan 35638, kode simbol lelaki dan perempuan.
"Ada kemungkinan buku catatatan dimiliki dua orang, Hitler dan Eva Braun," kata Sosro.
Ada juga tulisan yang diduga rute pelarian Hitler -- yakni B (Berlin), S (Salzburg), G (Graz), J (Jugoslavia), B (Belgrade), S (Sarajevo), R (Rome), sebelum dia ke Sumbawa Besar.
Istri kedua Poch, 'S' juga menceritakan suatu hari dia melihat suaminya mencukur kumis dengan gaya mirip Hitler. Ketika dia bertanya, suaminya menjawab, "jangan bilang siapa-siapa."
Poch yang diduga adalah Hitler meninggal pada 15 Januari 1970 pukul 19.30 di Rumah Sakit Karang Menjangan Surabaya karena serangan jantung, dalam usia 81 tahun.
Sebuah makam di Ngagel jadi pintu masuk untuk menyelidiki kebenaran cerita akhir hayat 'sang Fuhrer'.
Apakah Hitler benar tewas bunuh diri di bunker di Berlin pada 30 April 1945, atau apakah mati dalam usia tua di Argentina, Brazil, Amerika Selatan, atau Indonesia -- masih harus dikaji kebenarannya.
0 comments:
Post a Comment
Tolong jangan lupa tinggalkan komentar disini sob ...
Karena komentar anda sangat penting bagi blog ini ...
Thanks You Very Much ...